Saat Tsunami Aceh, Kubah Masjid Ini Terseret Sampai 2,5 Km
Sepuluh tahun berlalu, kedahsyatan tsunami Aceh masih terpasak jelas di benak. Mayat-mayat bergelimpangan, bangunan rata dengan tanah, hingga kapal besar yang terdampar di pemukiman warga.
Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 memang menjadi bencana terbesar di abad ke-21. Jejak kedahsyatan gelombang tsunami yang menelan ratusan ribu korban jiwa itu bahkan masih bisa disaksikan hingga hari ini.
Salah satu bukti kedahsyatan itu adalah berpindahnya kubah masjid berbobot 80 ton di Desa Gurah, Peukan Bada, Aceh Besar. Kubah yang kini dikenal dengan nama Masjid Al-Tsunami ini dulunya merupakan kubah masjid Jamik di Desa Lamteungoh, Peukan Bada, Aceh Besar.
Saat gelombang tsunami menerjang Aceh 2004 lalu, seluruh bangunan masjid rusak dan hanya menyisakan kubah masjid berdiameter 4×4 meter. Kubah itu terbawa arus gelombang sejauh 2,5 kilometer dan terdampar di Desa Gurah.
Kisah Mistis
Berpindahnya kubah masjid ini di luar nalar manusia. Kubah 80 ton itu terombang-ambing gelombang tsunami melewati pemukiman warga. Kejadian ini belakangan melahirkan cerita yang menyebutkan kubah diangkat oleh salah satu ulama besar Aceh bersama 3 muridnya hingga berpindah posisi.
“Dulu ada tamu yang datang ke sini, saat sampai di pintu masuk dia berhenti dan tercengang, hingga penjaga bertanya, kenapa? Lalu orang itu menjawab kubah masjid ini diangkat oleh Tengku Hamzah Fansuri, beserta tiga muridnya yang menggunakan jubah putih,” cerita Sriana, pemandu di kawasan yang kini dijadikan cagar budaya tsunami itu.
Syeikh Hamzah Al Fansuri merupakan ulama besar Aceh. Makamnya berada di Desa Ujung Panco, Peukan Bada, Aceh Besar, yang lokasinya tak jauh dari kubah masjid.
“Memang kuburan Tgk Hamzah Fansuri kan di situ, ada juga kuburan 3 muridnya. Tapi itu kan nggak bisa dibuktikan, yang pasti ini semua karena kuasa Allah,” kata Sriana, ibu rumah tangga yang menjadi pemandu wisata di lokasi tersebut sejak beberapa tahun lalu.
Sriana melanjutkan ceritanya, sebelum kubah tersebut terdampar di lokasinya saat ini, kubah Masjid Al-Tsunami itu tampak berputar–putar di sekitar Kampung Gurah.
“Kubah ini terapung sebelumnya sampai ke ujung bukit, namun pas gelombang kedua hanyut lagi ke kampung ini dan itu berputar–putar seperti mencari lokasi dudukan yang pas,” kata dia.
Kapal Penyelamat
Kubah saat ini berada di tengah sawah, di pinggiran bukit Desa Gurah. Sawah itu dulu milik warga, namun telah diwakafkan untuk dudukan kubah tersebut.
Kubah ini juga disebut sebagai kapal penyelamat. Banyak orang menyelamatkan diri dengan naik ke atas kubah saat tsunami menerjang.
Awal kubah ditemukan, warga juga menemukan beberapa kitab suci Al-Quran yang telah terendam gelombang tsunami di lokasi kubah. Saat ini Al-Quran yang telah hancur itu disatukan dalam sebuah wadah kaca.
Kubah Masjid Al-Tsunami kini menjadi salah satu destinasi wisata di Aceh. Menjelang peringatan 10 tahun tsunami, menurut Sriana, rata-rata 50 hingga 100 wisatawan mengunjungi lokasi ini setiap hari.
“Paling banyak itu wisatawan dari Malaysia, hampir 80 persen orang Malaysia. Selebihnya warga lokal, China, Amerika, Eropa,” ungkap Sriana.
Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 memang menjadi bencana terbesar di abad ke-21. Jejak kedahsyatan gelombang tsunami yang menelan ratusan ribu korban jiwa itu bahkan masih bisa disaksikan hingga hari ini.
Salah satu bukti kedahsyatan itu adalah berpindahnya kubah masjid berbobot 80 ton di Desa Gurah, Peukan Bada, Aceh Besar. Kubah yang kini dikenal dengan nama Masjid Al-Tsunami ini dulunya merupakan kubah masjid Jamik di Desa Lamteungoh, Peukan Bada, Aceh Besar.
Saat gelombang tsunami menerjang Aceh 2004 lalu, seluruh bangunan masjid rusak dan hanya menyisakan kubah masjid berdiameter 4×4 meter. Kubah itu terbawa arus gelombang sejauh 2,5 kilometer dan terdampar di Desa Gurah.
Kisah Mistis
Berpindahnya kubah masjid ini di luar nalar manusia. Kubah 80 ton itu terombang-ambing gelombang tsunami melewati pemukiman warga. Kejadian ini belakangan melahirkan cerita yang menyebutkan kubah diangkat oleh salah satu ulama besar Aceh bersama 3 muridnya hingga berpindah posisi.
“Dulu ada tamu yang datang ke sini, saat sampai di pintu masuk dia berhenti dan tercengang, hingga penjaga bertanya, kenapa? Lalu orang itu menjawab kubah masjid ini diangkat oleh Tengku Hamzah Fansuri, beserta tiga muridnya yang menggunakan jubah putih,” cerita Sriana, pemandu di kawasan yang kini dijadikan cagar budaya tsunami itu.
Syeikh Hamzah Al Fansuri merupakan ulama besar Aceh. Makamnya berada di Desa Ujung Panco, Peukan Bada, Aceh Besar, yang lokasinya tak jauh dari kubah masjid.
“Memang kuburan Tgk Hamzah Fansuri kan di situ, ada juga kuburan 3 muridnya. Tapi itu kan nggak bisa dibuktikan, yang pasti ini semua karena kuasa Allah,” kata Sriana, ibu rumah tangga yang menjadi pemandu wisata di lokasi tersebut sejak beberapa tahun lalu.
Sriana melanjutkan ceritanya, sebelum kubah tersebut terdampar di lokasinya saat ini, kubah Masjid Al-Tsunami itu tampak berputar–putar di sekitar Kampung Gurah.
“Kubah ini terapung sebelumnya sampai ke ujung bukit, namun pas gelombang kedua hanyut lagi ke kampung ini dan itu berputar–putar seperti mencari lokasi dudukan yang pas,” kata dia.
Kapal Penyelamat
Kubah saat ini berada di tengah sawah, di pinggiran bukit Desa Gurah. Sawah itu dulu milik warga, namun telah diwakafkan untuk dudukan kubah tersebut.
Kubah ini juga disebut sebagai kapal penyelamat. Banyak orang menyelamatkan diri dengan naik ke atas kubah saat tsunami menerjang.
Awal kubah ditemukan, warga juga menemukan beberapa kitab suci Al-Quran yang telah terendam gelombang tsunami di lokasi kubah. Saat ini Al-Quran yang telah hancur itu disatukan dalam sebuah wadah kaca.
Kubah Masjid Al-Tsunami kini menjadi salah satu destinasi wisata di Aceh. Menjelang peringatan 10 tahun tsunami, menurut Sriana, rata-rata 50 hingga 100 wisatawan mengunjungi lokasi ini setiap hari.
“Paling banyak itu wisatawan dari Malaysia, hampir 80 persen orang Malaysia. Selebihnya warga lokal, China, Amerika, Eropa,” ungkap Sriana.
0 comments:
Post a Comment